Sejarah Lelang di Indonesia

Indonesia yang dahulu dikenal dengan Hindia Belanda merupakan bekas jajahan Belanda. Pada masa itu penduduk Hindia Belanda dibedakan menjadi tiga golongan dan masing-masing golongan berlaku Hukum Perdata yang berbeda-beda, yaitu:
a.    golongan Eropa berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang di Negara Belanda;
b.    golongan Timur Asing berlaku bab-bab tertentu Hukum Perdata dan Hukum Dagang golongan Eropa;
c.    golongan Bumiputera berlaku hukum adat.
Kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 adalah perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Pada tahun 1506 VOC berhasil mendarat di Banten.
  • Lelang komoditas hasil perkebunan dan hasil bumi : Sistem lelang pertamakali digunakan untuk komoditas Teh (dan hingga saat ini sistem lelang ini digunakan un tuk penjualan teh di London).
  • Lelang aset milik pejabat Belanda yang pindah.
VOC dibubarkan pada atahun 1798 karena kesulitan finansial setelah belanda diserang oleh Napoleon. Selanjutnya wilayah koloni VOC di Hindia Timur diserahkan kepada Kerajaan Belanda. Jabatan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan Belanda di Hindia Belanda dijabat oleh orang-orang Belanda. Bila terjadi perpindahan/mutasi pejabat Belanda tersebut timbul masalah mengenai penjualan barang-barang milik pejabat yang dimutasi tersebut. Oleh karena itu, pada tahun 1908 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad 1908 Nomor 189 tentang Vendu Reglement, dimana pada saat itu belum ada Volksraad (DPR). Meskipun Vendu Reglement adalah peraturan setingkat Peraturan Pemerintah, Tetapi Vendu Reglement merupakan peraturan lelang yang tertinggi hingga saat ini. Oleh karena itu tidak salah jika VR disebut sebagai Undang-Undang Lelang. Proses yang hampir sama juga dialami oleh HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement/Reglemen Indonesia yang diperbaharui) dimana peraturan ini dianggap sebagai “Undang-Undang” Hukum Acara di pengadilan Indonesia hingga saat ini. Vendu Reglement diberlakukan untuk memperbesar penerimaan dari sektor pajak lelang. Selain itu juga untuk melindungi kepentingan para Pejabat Belanda yang pindah dari Hindia Belanda untuk menjual aset-asetnya.Pada masa itu, permintaan lelang eksekusi dan barang-barang pindahan lebih diutamakan.
Setelah keluar Staatsblad 1908 Nomor 189, terbentuklah Inspeksi Lelang yang bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan (Direktuur van Financient). Kemudian berdiri Direktorat Jenderal Pajak yang bernama Inspeksi Keuangan, namun posisinya tidak sama dengan Inspeksi Lelang. Di bawah Menteri Keuangan terdapat unit operasional yang disebut Kantor Lelang Negeri (Vendu Kantoren) yang antara lain berada di Batavia (Jakarta), Bandung, Cirebon, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Makassar, Banda Aceh, Medan, dan Palembang.
Selanjutnya pada tahun 1919, Gubernur Jenderal Nederlandsch Indie mengangkat Pejabat Lelang Kelas II (Vendumesteer Klas II) untuk menjangkau daerah-daerah yang belum terdapat Kantor Lelang Negeri dan frekuensi pelaksanaan lelang yang rendah. Pada waktu itu jabatan Pejabat Lelang Kelas II adalah Pejabat Notaris setempat. Kemudian seiring dengan meningkatnya permintaan lelang, jabatan tersebut ditingkatkan menjadi Kantor Lelang Negeri Kelas I. Tidak diketahui secara pasti perubahan istilah Vendumeester, menjadi Juru Lelang dan kemudian Pejabat Lelang. Namun diperkirakan pada tahun 1970-an dalam praktek dan peraturan yang mengatur tentang lelang telah digunakan istilah Pejabat Lelang.
Tata cara dan prosedur lelang diatur dalam peraturan (reglement), sedangkan Bea Materai diatur dalam verordening dan masih banyak lagi pengaturan-pengaturan yang dibuat dalam bentuk reglement dan verordening. Reglement dan verordening dibuat bersama antara Gubernur Jenderal dengan Hegerechthoof (Mahkamah Agung).Pengaturan-pengaturan tersebut belum diatur dalam ordonansi karena pada tahun itu belum terbentuk lembaga parlemen atau DPR (Volksraad) yang bertugas membentuk Undang-Undang (ordonansi). Volksraad baru terbentuk pada tahun 1926 yang anggotanya dipilih berdasarkan penunjukan, bukan melalui pemilihan.
  • Pada masa pemerintahan hindia belanda, lelang berada dibawah kewenangan Director Van Financien (Menkeu). Hal ini berlanjut setelah era kemerdekaan RI. Pada masa itu di tingkat Pusat kantor lelang disebut Kantor Inspeksi Lelang sedangkan di Operasionalnya di sebut Kantor Lelang Negeri.
  • Pada Tahun 1960 lelang berada dibawah pembinaan Direktorat Jenderal Pajak;
  • Pada Tahun 1970 Kantor lelang Negeri berubah nama menjadi Kantor Lelang Negara;
  • Pada Tahun 1990 Kantor lelang Negara di integrasikan dengan Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) dan Pada Tahun 1991 BUPN berubah nama menjadi Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN);
  • Pada tahun 2000 BUPLN berubah menjadi DJPLN (Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara) dan Pada tahun 2001 Kantor Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang Negara meleburkan diri menjadi Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN);
  • Pada tahun 2006 DJPLN berubah menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dan kantor operasionalnya berubah nama menjadi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang. Dengan kata lain adalah Lelang adalah merupakan suatu proses yg dimulai dari saat seseorang akan menjual suatu barang sampai dg saat tecapainya persetujuan harga (harga yg diluluskan) atau sampai saat lelang itu dihentikan (krn tdk mencapai limit harga yg diinginkan penjual), shg barang tdk jadi dilelang/tdk jadi dijual.
Hal tersebut di kuatkan oleh Roel “Penjualan di muka umum adalah suatu rangkaian kejadian yg terjadi antara saat dimana seseorang hendak menjual suatu barang atau lebih secara pribadi maupun dg perantaraan kuasanya dg memberi kesempatan kepada orng-orang yg hadir melakukan penawaran untuk membeli barang-barang yg ditawarkan sampai pada saat dimana kesempatan itu lenyap, yaitu pada saat tercapainya persetujuan antara penjual atau kuasanya dg pembeli ttg harganya”.
Mulai saat dikeluarkan niat menjual barang di muka umum, proses lelang sudah dimulai oleh karenanya itu semuanya harus dimulai sesuai dg ketentuan dalam peraturan lelang. untuk pengumuman lelangnya tetap berada ditangan penjual sesuai dg Pasal 18 Peraturan . Menkeu No. 40/PMK.07/2006 yg berbunyi “ Penjualan secara lelang wajib didahului dg pengumuman lelang yg dilakukan oleh penjual melalui surat kabar yg terbit di tempat barang berada yg akan dijual”.
Pelaksanaan lelang mempunyai fungsi pelayanan publik dan fungsi pelayanan privat. Fungsi pelayanan publik dari Lembaga Lelang tercermin saat digunakan oleh aparatur negara dalam melaksanakan tugas kepemerintahan dalam rangka Penegakan Hukum/Law Enforcement seperti yang diamanatkan dalam berbagai undang-undang, antara lain: KUHAP, KUHPerdata, HIR, UU Panitia Urusan Piutang Negara No. 49 Prp. Tahun 1960, UU Kepabeanan No. 10 Tahun 1995, UU Hak Tanggungan Nomor 4 tahun 1996, UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Nomor 19 tahun 1997, UU Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999, dan UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Nomor 37 tahun 2004.
Fungsi pelayanan publik lainnya tercermin pada saat digunakan oleh aparatur negara dalam rangka pengelolaan barang milik negara/daerah (kekayaan negara), khsusnya pada saat dipindahtangankan dengan cara dijual. Penjualan barang milik negara/daerah (kekayaan negara) harus dilakukan secara lelang. Pilihan penjualan lelang adalah dalam rangka mengamankannya sekaligus guna memenuhi prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (Good Governance). Proses ini akan berdampak pada peningkatan efisiensi, tertib administrasi dan keterbukaan (tranparansi) pengelolaan kekayaan negara, serta menjamin akuntabilitas (vide: Pasal 48 UU Perbendaharaan Negara Nomor 1 Tahun 2004). Dari dua fungsi pelayanan publik tersebut pada akhirnya Lembaga Lelang akan memberikan kontribusi dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak berupa Bea Lelang, hasil penjualan kekayaan negara, sitaan yang dirampas untuk negara, dan Penerimaan Pajak berupa PPh Pasal 25 dan BPHTB.
Sementara itu fungsi privat dari Lembaga Lelang tercermin saat lembaga lelang digunakan oleh siapapun yang memiliki barang dan bermaksud menjualnya secara lelang. Dalam fungi privat, Lembaga Lelang menjadi sarana/alat untuk memperlancar lalu lintas perdagangan barang.
Dari fungsi pelayanan publik dan privat tersebut pada akhirnya pelaksanaan lelang akan memberikan kontribusi dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Bea Lelang, hasil penjualan kekayaan negara, sitaan yang dirampas untuk negara, dan Penerimaan Pajak berupa Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan BPHTB sebagai fungsi budgetter.

Source :
http://www.djkn.depkeu.go.id/content/article/bmn/sejarah-lela-2.html
https://www.balailelang.co.id/index.php/sejarah-lelang/sejarah-lelang-di-indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

3 Prinsip Dalam K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)

Kecelakaan Pekerjaan Proyek Bangunan

10 Proyek Spektakuler Termahal di Dunia